Minggu, 29 Oktober 2017

Etika Profesi

KAJIAN EFEKTIVITAS PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN ISO 14001 DI PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA Tbk. CITEUREUP, BOGOR

Sistem Manajemen Lingkungan (SML) merupakan bagian integral sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang terdiri dari satu set pengaturan-pengaturan secara sistematis yang meliputi struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses, serta sumberdaya dalam upaya mewujudkan kebijakan lingkungan yang telah digariskan oleh perusahaan (Kuhre, 1996).
ISO 14001 merupakan International Organization of Standarization yang berisi tentang syarat-syarat untuk mengadakan, mengimplementasikan, dan mengoperasikan SML. Pada dasarnya SML ISO 14001 merupakan sistem manajemen lingkungan yang bersifat sukarela, tetapi konsumen menuntut produsen untuk melakukan sertifikasi tersebut. SML ISO 14001 memiliki beberapa prinsip yang di dalamnya terdapat beberapa pasal. SML perusahaan dengan siklus SML ISO 14001 adalah tahap pertama yang dilakukan perusahaan megidentifikasi kegiatan, produk atau jasa apa saja yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan sehingga perusahaan mampu melaksanakan tahapan-tahapan selanjutnya sesuai dengan pasal di dalam siklus SML ISO 14001.
Pada umumnya, amdal berbasis dampak penting lingkungan dan dibuat pada saat tahapan uji kelayakan, sedangkan SML berbasis aspek lingkungan penting yang diterapkan pada saat tahapan operasi. Menurut PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegitan. Tahapan-tahapan yang harus dikaji adalah tahap pra-konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi.
SNI 19-14001-2005 menyatakan bahwa organisasi harus menerapkan dan memelihara prosedur untuk:
1.      Mengidentifikasi aspek lingkungan kegiatan, produk, dan jasa dalam lingkup SML, yang dapat dikendalikan dan dapat dipengaruhi dengan memperhitungkan pembangunan yang direncanakan atau baru; kegiatan, produk dan jasa yang baru atau yang diubah.
2.      Menentukan aspek yang mempunyai atau dapat mempunyai dampak penting terhadap lingkungan (yaitu aspek lingkungan penting).

Kinerja lingkungan merupakan hasil yang terukur dari manajemen organisasi terhadap implentasi SML yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan, pengelolaan aspek lingkungan, dan tujuan serta sasaran lingkungan organisasi. Oleh sebab itu ruang lingkup penelitian mencakup:
1.      Penelusuran elemen-elemen SML perusahaan dalam mengendalikan aspek lingkungan penting.
2.      Kajian komitmen pucuk pimpinan perusahaan dan kepedulian karyawan.
3.      Kajian efektivitas pengelolaan lingkungan. Identifikasi permasalahan dalam penerapan SML ISO 14001. Berikut ini merupaka ruang lingkup yang diteliti.

1.       Emisi Debu
Menurut Kepmen LH No. 13 Tahun 1995, emisi adalah makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambient. Emisi debu dan gas adalah parameter spesifik yang paling berpengaruh terhadap kualitas udara ambien (PT. Indocement, 2003).
Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatankekuatan alam atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, peleburan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari bahan-bahan organic maupun anorganik, misal batu kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagaianya. Sedangkan menurut Sarudji (2010) dalam buku kesehatan lingkungan, debu (partikulat) adalah bagian yang besar dari emisi polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti mobil, truk, pabrik baja, pabrik semen, dan pembuangan sampah terbuka.
Menurut sifatnya, partikel dapat menimbulkan rangsangan saluran pernapasan, kematian karena sifat beracun, alergi, fibrosis, dan penyakit demam (Agusnar, 2008). Oleh karena itu dampak yang ditimbukan oleh debu adalah penurunan kualitas udara yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi para pekerja dan masyarakat di sekitar pabrik semen. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Febrianti Lestari pada Tahun 2004, menyatakan bahwa pada awal Tahun 2000 emisi debu yang dihasilkan PT. ITP berada di bawah baku mutu. Hal tersebut dikarenakan perusahaan telah memodifikasi EP untuk mengeluarkan debu maksimum 50 mg/m3. Sesuai dengan Keputusan Menteri LH No.13 Tahun 1995 tentang emisi sumber tidak bergerak, baku mutu partikulat (emisi debu) dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.       Emisi Gas Buang
Emisi gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin pembakaran dalam, mesin pembakaran luar, mesin jet yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan mesin. Emisi gas buang kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi operasional, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain. Bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbal (PB) (Tugaswati, 2012).
Pemantauan yang dilakukan PT. Indocement adalah dengan memasang alat continuous gas monitoring (CGM) di setiap cerobong kiln. Sesuai dengan Keputusan Menteri LH No.13 Tahun 1995, baku mutu emisi sumber tidak bergerak dengan parameter SOx dan NOx dapat dilihat pada Lampiran 3. Kadar gas berbahaya SOx dan NOx pada gas buang kendaraan bermotor bisa ditekan
sekecil mungkin dengan perawatan yang baik terhadap mesin kendaraan tersebut.
3.        Kebisingan
Kebisingan adalah gabungan berbagai macam bunyi yang mempunyai efek yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan oleh pendengar, dengan tingkat intensitas yang masih dapat diukur (Kurniawan, 2011). Kebisingan di atas 50 dB mengganggu kenyamanan alat pendengaran, kebisingan 65-80 dB menyebabkan gangguan alat pendengaran, dan kebisingan di >80 dB telinga membutuhkan erplug. Menurut Kepmen LH No. 48 Tahun 1996, pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      Cara sederhana dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) dengan mengukur tingkat tekanan bunyi dB(A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan tiap 5 detik.
2.      Cara langsung dengan menggunakan Integrating Sound Level Meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTM5, yaitu nilai tingkat kebisingan dengan waktu ukur selama 5 detik dalam waktu penukuran selama 10 menit.

4.        Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3)
Menurut PP No. 18 Tahun 1999, limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Limbah yang diidentifikasikan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut: 1. Mudah meledak 2. Mudah terbakar 3. Bersifat reaktif 4. Beracun 5. Menyebabkan infeksi 6. Bersifat korosif Pemanfaatan limbah B3 menurut PP No. 18 Tahun 1999 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Tolak ukur yang digunakan untuk mengukur efektivitas SML dalam penelitian adalah kinerja lingkungan perusahaan. Efektivitas dapat dilihat dari sejauh mana elemen SML yang dikembangkan oleh PT. ITP Citeureup dijalankan dan dipelihara sesuai dengan standar SML ISO 14001, selain itu cara-cara yang ditempuh oleh manajemen untuk memenuhi syarat elemen manajemen bersangkutan untuk disesuaikan dengan kemampuan, kompetensi, dan kemudahan bagi karyawan. Serta melihat sejauh mana SML yang dikembangkan efektif menangani masalah-masalah lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan, produk, dan jasa PT. ITP Citeureup.
Manajemen puncak PT. ITP telah menunjukan komitmen terhadap lingkungan yaitu dengan membuat dan menetapkan kebijakan lingkungan perusahaan yangmemuat komitmen untuk mencegah pencemaran, mematuhi peraturan, serta perbaikan secara terus menerus. Secara lengkap kebijakan PT. ITP Citeureup dapat dilihat pada Lampiran 5. Kebijakan lingkungan perusahaan harus terus dilaksanakan sebagai salah satu wujud pembangunan berkelanjutan yang dilakukan PT. ITP Citeureup.
Hasil observasi lapang, hampir di setiap ruangan yang dikunjungi terdapat kebijakan perusahaan yang di dalamnya memuat kebijakan lingkungan. Tetapi ada beberapa ruangan yang tidak ditemukan adanya kebijakan perusahaan tersebut. Hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa karyawan, ditemukan beberapa karyawan yang tidak mengetahui isi dari kebijakan lingkungan perusahaan.
Beberapa ruangan yang tidak terdapat kebijakan lingkungan adalah waiting room di POS 1 dan perpustakaan. Kemudian dijumpai beberapa karyawan pada bagian Utility dan Hazard Monitoring Section yang tidak mengetahui isi dari kebijakan lingkungan. Kurangnya koordinasi antar karyawan dalam penyampaian informasi tentang kebijakan lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antar sesama karyawan dalam penyampaian informasi tentang kebijakan lingkungan.
Pengendalian ALP
1.        Emisi Debu
Beberapa kegiatan PT. ITP Citeureup yang menghasilkan emisi debu adalah penambangan, transportasi bahan baku dan pengangkut semen, penggilingan bahan baku, penggilingan serta pembuatan kantong semen. Setiap kegiatan yang yang menghasilkan emisi debu memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang dikendalikan oleh perusahaan. Pelatihan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran karyawan dalam mengelola emisi debu adalah briefing peningkatan kesadaran umum serta training pemantauan dan pengukuran.
Beberapa program perusahaan dalam pengelolaan emisi debu di lingkungan kerja dan di lingkungan masyarakat adalah dengan memasang Electrostatic Precipitator (EP) dan Bag Filter di dekat sumber pencemar, serta menyiram jalan secara berkala dengan menggunakan truk yang telah didesain khusus untuk keperluan penyiraman. Program pengelolaan emisi debu dapat dilihat pada Lampiran 8 dan peta penempatan EP serta bag filter dapat dilihat pada Lampiran 9. Debu yang berhasil ditangkap oleh EP dan bag filter akan diambil dan dimasukan kembali ke dalam proses produksi semen. Karyawan yang bekerja di lapangan wajib menggunakan APD berupa masker dan melakukan Medical Check-Up (MCU) secara rutin.
Data hasil pengukuran emisi debu di lingkungan kerja PT. ITP Citeureup dapat dilihat pada Gambar 5. Terlihat nilai emisi debu tertinggi terjadi pada bulan Februari 2012 di Plant 3 yaitu sebesar 79 mg/m3 . Hasil observasi lapang, nilai emisi debu yang tinggi disebabkan oleh EP yang tidak mampu menahan gas CO pada saat proses produksi sehingga operator harus melepas emisi debu ke udara. Data hasil pengukuran emisi debu dilingkungan masyarakat PT. ITP Citeureup dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai tertinggi emisi debu di lingkungan masyarakat sebesar 224 mg/m3 . Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengukuran di Desa Puspanegara pada Bulan Agustus dan September 2012 serta di Desa Gunung Sari pada Bulan November 2012. Salah satu factor penyebab nilai tertinggi emisi debu adalah angina, sehingga pada bulan-bulantertentu nilai emisi debu di beberapa desa relative tinggi, seperti di bulan Juni.
Seseuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995, baku mutu emisi sumber tidak bergerak dengan parameter partikulat (debu) untuk industry semen sebesar 80 mg/m3 dan nilai tersebut digunakan sebagai nilai ambang batas emisis debu dilingkungan kerja. Sedangkan nilai ambang batas emisi debu di lingkungan masyarakat sebesar 230 mg/m3 yang ditetapkan di dalam PP No. 41 Tahun 1999.
Pemantauan emisi debu yang dilakukan PT. ITP di area kerja adalah mengukur emisi debu secara manual menggunakan metode gravimetri dengan alat High Volume Air Sampler (HVS) berkapasitas 500 liter/menit, memasang alat Continuous Particulate Monitoring (CPM). Sedangkan untuk pemantauan emisi debu di areal masyarakat adalah dengan cara pengukuran selama 24 jam menggunakan High Volume Air Sampler (HVS) berkapasitas 500 liter/menit dan 200 liter/menit. Pemantauan emisi debu dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hingga saat ini program-program tersebut telah dilaksanakan dan mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada emisi debu di lingkungan kerja perusahaan dan di lingkungan masyarakat yang melebihi baku mutu serta karyawan dapat bekerja dengan baik di lapangan
Pengelolaan emisi debu yang dilakukaan oleh PT. ITP Citeureup sudah efektif, oleh karena itu perusahaan harus mempertahankan pengelolaan tersebut sebagai salah satu tindakan perbaikan berkelanjutan.
2.        Emisi Gas Buang
Parameter emisi gas buang yang diukur dalam pengelolaan adalah SOx dan NOx yang dihasilkan oleh bagian produksi yang terdiri dari sembilan plant. Kegiatan yang menghasilkan emisi gas buangan tersebut yaitu pengeboran, pengeringan dan penggilingan bahan baku, kiln (pembakaran dan pendinginan), serta transportasi baik kendaraan operasional maupun truk pengangkut semen dan batubara. Pada setiap pengoperasian pabrik, pengelolaan khususnya emisi gas buang dilakukan dengan menjalankan SOP yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik setiap plant serta dikendalikan oleh perusahaan. Masing-masing CCP operator diberikan panduan mengenai prosedur operasi agar emisi gas buang dapat terkendali sesuai dengan baku mutu.
Beberapa program pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan oleh PT. ITP Citeureup adalah memasang Gas Cooling Tower agar emisi yang keluar dari cerobong memenuhi baku mutu, mengukur emisi gas buang kedaraan pengangkut bahan peledak secara rutin, penanaman pohon yang berfungsi sebagai windbreaker atau shelterbelt, dan memasang Continuous Gas Monitoring (CGM) untuk memantau emisi gas buang secara kontinu. Bukti pengelolaan dan pemantauan emisi gas buang dapat dilihat pada Lampiran 11. Seluruh program telah dilaksanakan dan telah mencapai tujuan serta sasaran yang ditentukan oleh perusahaan.
Setiap karyawan diberikan APD berupa masker sebagai APD standar minimal. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan karyawan, maka perusahaan memberikan training mengenai debu dan dampak terhadap kesehatan. yang dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran karyawan dalam mengelola emisi gas buang sama dengan pelatihan pelatihan emisi gas buang.
3.        Kebisingan

pengukuran tingkat kebisingan dilakukan dilingkungan masyarakat sekitar belt conveyor dan disetiap plant produksi. Kegiatan yang menghasilkan kebisingan adalah pengoperasian power plant pengangkutan bahan baku dari penambang n ke gudang penyimpanan di pabrik deng an menggun akan belt conveyor. Setiap kegia an yang yang menghasilkan kebis ingan suda h memiliki SOP yang dikendalikan oleh perusahaan.

4.        Pemanfaatan Limbah B3

Limbah B3 dijadikan salah satu bahan bakar dan material alternative (BBMA) PT. ITP Citeureup. Limbah B3 dimanfaatkan perusahaan adalah oil sludge, paint sludge, paper sludge, contaminated good  (Plastic waste, textile waste). Perusahaan telah memiliki izin pengelolaan limbah B3 karena telah mengisi formulir tata cara perizinan pengelolaan limbah B3 yang telah disetujui oleh menteri Negara lingkungan hidup. Selama melakukan pengelolaan pada limbah B3 yang berbentuk cair, belum pernah terjadi tumpahan limbah B3 karena pengelolaan limbah B3 telah terkendali dengan baik oleh PT. ITP  


Sumber :