Kasus Dariestya
Endianto Putra dengan Dream Theater Management
Kasus Dariestya Endianto Putra dengan Dream Theater Management desain grafis dibawah yang dipakai untuk cover album, latar belakang dan hiasan web-pages Dream Theater sebenarnya adalah desain grafis ciptaan anak Indonesia. Desain grafis tersebut adalah hasil karya seorang anak sekolah di Yogyakarta bernama DARIESTYA ENDIANO PUTRA yang di-upload di blognya pada website http://multiply.com.
Doug & Marco M yaitu Dream Theater Management secara tidak sengaja melihat karya tersebut dan memutuskan mendownload dan membuat karya desain grafis tersebut menjadi cover terbaru album Dream Theater, latar belakang dan hiasan web pages Dream Theater dengan sedikit ubahan dan tambahan gambar semut tanpa seizin Dariestya. Pada tanggal 15 Juli 2008 Dariestya mendapat berita melalui email dari Erik Muna alias Petfish yang merupakan Official Graphic Design Dream Theater yang meyatakan bahwa Desain grafis anda telah dipakai untuk cover terbaru album Dream Theater, Latar Belakang dan hiasan web pages Dream Theater. Upaya hukum Pada tanggal 16 Juli 2008 Dariestya melakukan peringatan pada Dream Theater Management melalui e-mail yang berisikan, bahwa desain grafis tersebut kecuali gambar semut adalah ciptaan Dariestya dan meminta tanggapan selambat-lambatnya pada tanggal 27 Juli 2008. Pada tanggal 3 Agustus 2008 Dream Theater Management membalas email dengan subject Roadruner & Dreamtheatre, yang isi emai-nya seperti ini: “Kami dari Roadruner & Dreamtheatre, adalah pencipta desain grafis tersebut, Karena kami telah mendaftarkan hak cipta desain grafis tersebut” Pada tanggal 4 Agustus 2008 Dariestya memberikan peringatan kedua dan terakhir kepada Dream Theater Management, tetapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari pihak Dream Theater Management. Karena ketidak mengertian DARIESTYA terhadap pelanggaran tersebut dan upaya apa yang dapat dilakaukan sehinga pelanggaran tersebut tidak ditindak lanjuti.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang
No.31 tahun 2000 tentang Desain Industri.
2. Undang_Undang
No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Kesimpulan :
Pada
kasus diatas jelas sekali masyarakat Indonesia masih kurang kesadaran akan pentingnya melindungi
kekayaan intelektual bangsa, agar apabila terdapat kasus seperti diatas desain
atau kreatifitas yang kita miliki dilindungi oleh hukum yang berlaku.
Sumber:
Kasus PT Huawei Tech Investment VS Unlocking
PT
Huawei Tech Investment meradang lantaran maraknya unlocking terhadap
telepon genggam Huawei tipe C2601. Sejatinya, telepon genggam Huawei itu hanya
dapat digunakan (bandling) untuk layanan telekomunikasi Esia. Dengan unlocking handphone
tersebut bisa digunakan dengan menggunakan kartu operator lainnya. Praktik unlocking ini
kerap terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
Kuasa
hukum Huawei, Ignatius Supriyadi menyatakan akibat unlocking itu
Huawei menderita kerugian, baik materiil maupun immateriil. Sebab jumlah handphone yang
diedarkan di pasaran tidak sebanding dengan pemakaian nomor Esia.
Akibatnya, investasi yang ditanamkan tidak kembali. Nilai kerugian real belum
dapat dipastikan, yang pasti jumlahnya sangat besar, ujar Ignatius saat ditemui
di kantornya, Kamis (19/3).
Selain
itu, reputase Huawei bisa tercemar di mata Esia. Sebab, Esia telah berinvestasi
bersama Huawei untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat kecil agar bisa
menikmati teknologi komunikasi dengan biaya murah. Tidak hanya Huawei yang
merugi, konsumen pun dirugikan lantaran tidak lagi mendapat garansi apabila
telepon genggam Huawei rusak dalam tenggat waktu yang diberikan.
Langkah
persuasif yang ditempuh Huawei nampaknya tidak mempan untuk menumpas praktik
tersebut. Bersama dengan kepolisian, Huawei berhasil menjerat pelaku unlockingyang
mengiklankan jasanya di www.kaktus.com.
Dia adalah seorang biksu bernama Jioe Tung Hung.
Dari
hasil penjebakan terungkap unlocking dilakukan dengan
menyambungkan handsetHuawei ke laptop milik Jioe melalui kabel
data. Setelah tersambung, Jioe meng-unlock software yang ada di
telepon genggam itu dengan software milik Jioe. Hasilnya,
handphone tersebut bisa digunakan dengan kartu telepon operator lain. Berkat unlockingitu,
Jioe memporoleh keuntungan dengan memungut biaya dari para pelanggan yang
jumlahnya sukarela. Dalam persidangan Jioe mengaku telah meng-unlock lebih
dari 10 unithandphone Huawei.
Jioe
tidak hanya memberikan pelayanan unlocking secara individu.
Jioe juga menjual software unlocking ciptaannya.
Menurut majelis hakim pengiklanan di website menunjukan bahwa Jioe dengan
sengaja menjual barang kepada umum yang didapat dengan melanggar hak cipta.
Padahal
handphone Huawei seri C2601 di-bandling khusus
dengan layanan Esia Selain itu, program itu telah terdaftar di Departemen Hukum
dan HAM pada Oktober 2007 dengan jenis ciptaan program komputer. Dengan begitu,
program setting handset Huawei merupakan objek perlindungan
hak cipta.
Karena
itu, saat persidangan digelar pada April 2008 di Pengadilan Negeri jakarta
Pusat, Kejaksaan Negeri jakarta Pusat membidik Jioe dengan dakwaan alternatif.
Dalam dakwaan primer Jioe diancam dengan Pasal 72 ayat (2) UU No. 19/2002
tentang Hak Cipta. Dilapis kedua alias subsidair Jioe dijerat dengan Pasal 72
ayat (8) UU yang sama yang berisi "Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing- masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setelah
bersidang selama tiga bulan, majelis hakim yang dipimpin oleh Zulfahmi
menyatakan Jioe terbukti bersalah melanggar Pasal 72 ayat (2) sesuai dakwaan
primer. Salah satu pertimbangan yang memperberat hukuman adalah tindakan Jioe
diniliai merusak dunia usaha. Sedang hal yang meringankan adalah Jioe seorang
biksu sehingga tindakannya tidak ditujukan sebagai mata pencaharian.
Lantaran terbukti
melanggar hak cipta, Jioe dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun enam bulan
dan denda sebesar Rp1 juta, subsidair satu bulan
kurungan. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat menuntut hukuman empat tahun penjara dan denda sebesar Rp3
juta, subsidair tiga bulan kurungan.
Putusan No.
814/Pid.B/2008/PN.JKT.PST tanggal 14 Juli 2008 itu dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta pada Agustus 2008. Majelis hakim yang diketuai Nafisah -
beranggotakan Endang Sri Murwati dan Janto Kartono Moelijo � menyatakan pertimbangan
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah tepat dan benar.
Walaupun hukuman terhadap pelaku
rendah, Ignatius menyatakan hukuman cukup setimpal dengan perbuatan terdakwa.
Yang penting terbukti tindakan terdakwa menciderai hak cipta yang dilindungi
undang-undang, ujar Ignatius.
Ia
menyatakan gejala unlocking semakin masif, karena itu pasca
putusan terhadap terdakwa, Februari 2009, ia mengumumkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat di media massa. Hal itu bertujuan agar masyarakat atau
dealer handhone agar tidak melakukan tindakan serupa. Jika tidak, Huawei akan
menempuh upaya hukum yang sama dengan terdakwa. Hasilnya cukup efektif, pasca
pengumuman
itu praktik unlockingmenurun. Huawei akan terus melakukan
investigasi secara periodik untuk memerangiunlocking.
Kesimpulan :
Dari
kasus diatas dapat disimpulkan secara sederhana unlocking bisa terjadi akibat
perkembangan Zaman, semakin berkembangnya zaman semakin banyak orang yang ingin
layanan yang prima salah satunya alat komunikasi yaitu handphone jika satu
handphone bisa mencakup semua lapisan operator maka akan memudahkan kerja dalam
setiap kegiatan. Semakin berkembangnya zaman saat ini maka akan menimbulkan
keburukan yaitu semakin maraknya pelanggaran hak Cipta salah satunya dalam
kasus ini adalah unlocking.
Sumber :