KAJIAN
EFEKTIVITAS PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN ISO 14001 DI PT. INDOCEMENT
TUNGGAL PRAKARSA Tbk. CITEUREUP, BOGOR
Sistem
Manajemen Lingkungan (SML) merupakan bagian integral sistem manajemen
perusahaan secara keseluruhan yang terdiri dari satu set pengaturan-pengaturan
secara sistematis yang meliputi struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur,
proses, serta sumberdaya dalam upaya mewujudkan kebijakan lingkungan yang telah
digariskan oleh perusahaan (Kuhre, 1996).
ISO
14001 merupakan International Organization of Standarization yang berisi
tentang syarat-syarat untuk mengadakan, mengimplementasikan, dan mengoperasikan
SML. Pada dasarnya SML ISO 14001 merupakan sistem manajemen lingkungan yang
bersifat sukarela, tetapi konsumen menuntut produsen untuk melakukan
sertifikasi tersebut. SML ISO 14001 memiliki beberapa prinsip yang di dalamnya
terdapat beberapa pasal. SML perusahaan dengan siklus SML ISO 14001 adalah
tahap pertama yang dilakukan perusahaan megidentifikasi kegiatan, produk atau
jasa apa saja yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan sehingga perusahaan
mampu melaksanakan tahapan-tahapan selanjutnya sesuai dengan pasal di dalam
siklus SML ISO 14001.
Pada
umumnya, amdal berbasis dampak penting lingkungan dan dibuat pada saat tahapan
uji kelayakan, sedangkan SML berbasis aspek lingkungan penting yang diterapkan
pada saat tahapan operasi. Menurut PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan, amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegitan.
Tahapan-tahapan yang harus dikaji adalah tahap pra-konstruksi, konstruksi,
operasi, dan pasca operasi.
SNI
19-14001-2005 menyatakan bahwa organisasi harus menerapkan dan memelihara
prosedur untuk:
1.
Mengidentifikasi
aspek lingkungan kegiatan, produk, dan jasa dalam lingkup SML, yang dapat
dikendalikan dan dapat dipengaruhi dengan memperhitungkan pembangunan yang
direncanakan atau baru; kegiatan, produk dan jasa yang baru atau yang diubah.
2.
Menentukan
aspek yang mempunyai atau dapat mempunyai dampak penting terhadap lingkungan
(yaitu aspek lingkungan penting).
Kinerja lingkungan
merupakan hasil yang terukur dari manajemen organisasi terhadap implentasi SML
yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan, pengelolaan aspek lingkungan, dan
tujuan serta sasaran lingkungan organisasi. Oleh sebab itu ruang lingkup
penelitian mencakup:
1.
Penelusuran
elemen-elemen SML perusahaan dalam mengendalikan aspek lingkungan penting.
2.
Kajian
komitmen pucuk pimpinan perusahaan dan kepedulian karyawan.
3.
Kajian
efektivitas pengelolaan lingkungan. Identifikasi permasalahan dalam penerapan
SML ISO 14001. Berikut ini merupaka ruang lingkup yang diteliti.
1.
Emisi Debu
Menurut
Kepmen LH No. 13 Tahun 1995, emisi adalah makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam
udara ambient. Emisi debu dan gas adalah parameter spesifik yang paling
berpengaruh terhadap kualitas udara ambien (PT. Indocement, 2003).
Debu
adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatankekuatan alam
atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, peleburan, pengepakan yang
cepat, peledakan, dan lain-lain dari bahan-bahan organic maupun anorganik,
misal batu kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagaianya.
Sedangkan menurut Sarudji (2010) dalam buku kesehatan lingkungan, debu (partikulat)
adalah bagian yang besar dari emisi polutan yang berasal dari berbagai macam
sumber seperti mobil, truk, pabrik baja, pabrik semen, dan pembuangan sampah
terbuka.
Menurut
sifatnya, partikel dapat menimbulkan rangsangan saluran pernapasan, kematian
karena sifat beracun, alergi, fibrosis, dan penyakit demam (Agusnar, 2008).
Oleh karena itu dampak yang ditimbukan oleh debu adalah penurunan kualitas
udara yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi para pekerja dan masyarakat
di sekitar pabrik semen. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Febrianti
Lestari pada Tahun 2004, menyatakan bahwa pada awal Tahun 2000 emisi debu yang
dihasilkan PT. ITP berada di bawah baku mutu. Hal tersebut dikarenakan
perusahaan telah memodifikasi EP untuk mengeluarkan debu maksimum 50 mg/m3.
Sesuai dengan Keputusan Menteri LH No.13 Tahun 1995 tentang emisi sumber tidak
bergerak, baku mutu partikulat (emisi debu) dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.
Emisi Gas Buang
Emisi
gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin pembakaran dalam,
mesin pembakaran luar, mesin jet yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan
mesin. Emisi gas buang kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi
dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi operasional, jenis
mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain. Bahan pencemar
yang terutama terdapat didalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon
monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx)
dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbal (PB) (Tugaswati, 2012).
Pemantauan
yang dilakukan PT. Indocement adalah dengan memasang alat continuous gas
monitoring (CGM) di setiap cerobong kiln. Sesuai dengan Keputusan Menteri
LH No.13 Tahun 1995, baku mutu emisi sumber tidak bergerak dengan parameter SOx
dan NOx dapat dilihat pada Lampiran 3. Kadar gas berbahaya SOx dan NOx pada gas
buang kendaraan bermotor bisa ditekan
sekecil mungkin dengan
perawatan yang baik terhadap mesin kendaraan tersebut.
3.
Kebisingan
Kebisingan
adalah gabungan berbagai macam bunyi yang mempunyai efek yang tidak
menyenangkan atau tidak diinginkan oleh pendengar, dengan tingkat intensitas
yang masih dapat diukur (Kurniawan, 2011). Kebisingan di atas 50 dB mengganggu
kenyamanan alat pendengaran, kebisingan 65-80 dB menyebabkan gangguan alat
pendengaran, dan kebisingan di >80 dB telinga membutuhkan erplug. Menurut
Kepmen LH No. 48 Tahun 1996, pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
1.
Cara
sederhana dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) dengan mengukur tingkat
tekanan bunyi dB(A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan
tiap 5 detik.
2.
Cara
langsung dengan menggunakan Integrating Sound Level Meter yang mempunyai
fasilitas pengukuran LTM5, yaitu nilai tingkat kebisingan dengan waktu ukur
selama 5 detik dalam waktu penukuran selama 10 menit.
4.
Limbah
Bahan Beracun dan Berbahaya (B3)
Menurut
PP No. 18 Tahun 1999, limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan merusak lingkungan hidup dan membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Limbah yang
diidentifikasikan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki
salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut: 1. Mudah meledak 2. Mudah
terbakar 3. Bersifat reaktif 4. Beracun 5. Menyebabkan infeksi 6. Bersifat
korosif Pemanfaatan limbah B3 menurut PP No. 18 Tahun 1999 adalah suatu
kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse)
dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi
suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan
kesehatan manusia.
Tolak
ukur yang digunakan untuk mengukur efektivitas SML dalam penelitian adalah
kinerja lingkungan perusahaan. Efektivitas dapat dilihat dari sejauh mana
elemen SML yang dikembangkan oleh PT. ITP Citeureup dijalankan dan dipelihara
sesuai dengan standar SML ISO 14001, selain itu cara-cara yang ditempuh oleh
manajemen untuk memenuhi syarat elemen manajemen bersangkutan untuk disesuaikan
dengan kemampuan, kompetensi, dan kemudahan bagi karyawan. Serta melihat sejauh
mana SML yang dikembangkan efektif menangani masalah-masalah lingkungan yang
berkaitan dengan kegiatan, produk, dan jasa PT. ITP Citeureup.
Manajemen
puncak PT. ITP telah menunjukan komitmen terhadap lingkungan yaitu dengan
membuat dan menetapkan kebijakan lingkungan perusahaan yangmemuat komitmen
untuk mencegah pencemaran, mematuhi peraturan, serta perbaikan secara terus
menerus. Secara lengkap kebijakan PT. ITP Citeureup dapat dilihat pada Lampiran
5. Kebijakan lingkungan perusahaan harus terus dilaksanakan sebagai salah satu
wujud pembangunan berkelanjutan yang dilakukan PT. ITP Citeureup.
Hasil
observasi lapang, hampir di setiap ruangan yang dikunjungi terdapat kebijakan
perusahaan yang di dalamnya memuat kebijakan lingkungan. Tetapi ada beberapa
ruangan yang tidak ditemukan adanya kebijakan perusahaan tersebut. Hasil
wawancara yang dilakukan pada beberapa karyawan, ditemukan beberapa karyawan
yang tidak mengetahui isi dari kebijakan lingkungan perusahaan.
Beberapa
ruangan yang tidak terdapat kebijakan lingkungan adalah waiting room di POS 1
dan perpustakaan. Kemudian dijumpai beberapa karyawan pada bagian Utility dan
Hazard Monitoring Section yang tidak mengetahui isi dari kebijakan lingkungan.
Kurangnya koordinasi antar karyawan dalam penyampaian informasi tentang
kebijakan lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antar sesama
karyawan dalam penyampaian informasi tentang kebijakan lingkungan.
Pengendalian ALP
1.
Emisi
Debu
Beberapa
kegiatan PT. ITP Citeureup yang menghasilkan emisi debu adalah penambangan,
transportasi bahan baku dan pengangkut semen, penggilingan bahan baku,
penggilingan serta pembuatan kantong semen. Setiap kegiatan yang yang
menghasilkan emisi debu memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang
dikendalikan oleh perusahaan. Pelatihan yang dilaksanakan untuk meningkatkan
kompetensi dan kesadaran karyawan dalam mengelola emisi debu adalah briefing
peningkatan kesadaran umum serta training pemantauan dan pengukuran.
Beberapa
program perusahaan dalam pengelolaan emisi debu di lingkungan kerja dan di
lingkungan masyarakat adalah dengan memasang Electrostatic Precipitator (EP)
dan Bag Filter di dekat sumber pencemar, serta menyiram jalan secara berkala
dengan menggunakan truk yang telah didesain khusus untuk keperluan penyiraman.
Program pengelolaan emisi debu dapat dilihat pada Lampiran 8 dan peta
penempatan EP serta bag filter dapat dilihat pada Lampiran 9. Debu yang
berhasil ditangkap oleh EP dan bag filter akan diambil dan dimasukan kembali ke
dalam proses produksi semen. Karyawan yang bekerja di lapangan wajib
menggunakan APD berupa masker dan melakukan Medical Check-Up (MCU) secara
rutin.
Data
hasil pengukuran emisi debu di lingkungan kerja PT. ITP Citeureup dapat dilihat
pada Gambar 5. Terlihat nilai emisi debu tertinggi terjadi pada bulan Februari
2012 di Plant 3 yaitu sebesar 79 mg/m3 . Hasil observasi lapang, nilai emisi
debu yang tinggi disebabkan oleh EP yang tidak mampu menahan gas CO pada saat
proses produksi sehingga operator harus melepas emisi debu ke udara. Data hasil
pengukuran emisi debu dilingkungan masyarakat PT. ITP Citeureup dapat dilihat
pada Gambar 6. Nilai tertinggi emisi debu di lingkungan masyarakat sebesar 224
mg/m3 . Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengukuran di Desa Puspanegara pada
Bulan Agustus dan September 2012 serta di Desa Gunung Sari pada Bulan November
2012. Salah satu factor penyebab nilai tertinggi emisi debu adalah angina,
sehingga pada bulan-bulantertentu nilai emisi debu di beberapa desa relative tinggi,
seperti di bulan Juni.
Seseuai
dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995, baku mutu emisi
sumber tidak bergerak dengan parameter partikulat (debu) untuk industry semen
sebesar 80 mg/m3 dan nilai tersebut digunakan sebagai nilai ambang
batas emisis debu dilingkungan kerja. Sedangkan nilai ambang batas emisi debu
di lingkungan masyarakat sebesar 230 mg/m3 yang ditetapkan di dalam
PP No. 41 Tahun 1999.
Pemantauan
emisi debu yang dilakukan PT. ITP di area kerja adalah mengukur emisi debu
secara manual menggunakan metode gravimetri dengan alat High Volume Air Sampler
(HVS) berkapasitas 500 liter/menit, memasang alat Continuous Particulate
Monitoring (CPM). Sedangkan untuk pemantauan emisi debu di areal masyarakat
adalah dengan cara pengukuran selama 24 jam menggunakan High Volume Air Sampler
(HVS) berkapasitas 500 liter/menit dan 200 liter/menit. Pemantauan emisi debu
dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hingga
saat ini program-program tersebut telah dilaksanakan dan mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada emisi debu di
lingkungan kerja perusahaan dan di lingkungan masyarakat yang melebihi baku
mutu serta karyawan dapat bekerja dengan baik di lapangan
Pengelolaan
emisi debu yang dilakukaan oleh PT. ITP Citeureup sudah efektif, oleh karena
itu perusahaan harus mempertahankan pengelolaan tersebut sebagai salah satu
tindakan perbaikan berkelanjutan.
2.
Emisi
Gas Buang
Parameter
emisi gas buang yang diukur dalam pengelolaan adalah SOx dan NOx yang
dihasilkan oleh bagian produksi yang terdiri dari sembilan plant. Kegiatan yang
menghasilkan emisi gas buangan tersebut yaitu pengeboran, pengeringan dan
penggilingan bahan baku, kiln (pembakaran dan pendinginan), serta transportasi
baik kendaraan operasional maupun truk pengangkut semen dan batubara. Pada
setiap pengoperasian pabrik, pengelolaan khususnya emisi gas buang dilakukan
dengan menjalankan SOP yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik setiap
plant serta dikendalikan oleh perusahaan. Masing-masing CCP operator diberikan
panduan mengenai prosedur operasi agar emisi gas buang dapat terkendali sesuai
dengan baku mutu.
Beberapa
program pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan oleh PT. ITP Citeureup adalah
memasang Gas Cooling Tower agar emisi yang keluar dari cerobong memenuhi baku
mutu, mengukur emisi gas buang kedaraan pengangkut bahan peledak secara rutin,
penanaman pohon yang berfungsi sebagai windbreaker atau shelterbelt, dan
memasang Continuous Gas Monitoring (CGM) untuk memantau emisi gas buang secara kontinu.
Bukti pengelolaan dan pemantauan emisi gas buang dapat dilihat pada Lampiran
11. Seluruh program telah dilaksanakan dan telah mencapai tujuan serta sasaran
yang ditentukan oleh perusahaan.
Setiap
karyawan diberikan APD berupa masker sebagai APD standar minimal. Untuk
meningkatkan pengetahuan dan wawasan karyawan, maka perusahaan memberikan
training mengenai debu dan dampak terhadap kesehatan. yang dilaksanakan untuk
meningkatkan kompetensi dan kesadaran karyawan dalam mengelola emisi gas buang
sama dengan pelatihan pelatihan emisi gas buang.
3.
Kebisingan
pengukuran
tingkat kebisingan dilakukan dilingkungan masyarakat sekitar belt conveyor dan disetiap
plant produksi. Kegiatan yang menghasilkan kebisingan adalah pengoperasian
power plant pengangkutan bahan baku dari penambang n ke gudang penyimpanan di pabrik deng an
menggun akan belt conveyor. Setiap kegia an yang yang
menghasilkan kebis ingan suda h memiliki SOP yang dikendalikan
oleh perusahaan.
4.
Pemanfaatan
Limbah B3
Limbah
B3 dijadikan salah satu bahan bakar dan material alternative (BBMA) PT. ITP
Citeureup. Limbah B3 dimanfaatkan perusahaan adalah oil sludge, paint sludge,
paper sludge, contaminated good (Plastic
waste, textile waste). Perusahaan telah memiliki izin pengelolaan limbah B3
karena telah mengisi formulir tata cara perizinan pengelolaan limbah B3 yang
telah disetujui oleh menteri Negara lingkungan hidup. Selama melakukan pengelolaan
pada limbah B3 yang berbentuk cair, belum pernah terjadi tumpahan limbah B3
karena pengelolaan limbah B3 telah terkendali dengan baik oleh PT. ITP
Sumber
: